Sabtu, 02 Oktober 2010

Ratu Belanda Wilhelmina Orang Buton

PERLU PENGAKUAN INTERNASIONAL... !!! : "RATU BELANDA PUTRI WELHELMINA BERDARAH ASLI ASAL KETURUNAN DARI ISTANA KERATON BUTON"
Oleh : Ali Habiu

Cerita ini sudah lama berkembang dikalangan tertentu masyarakat pulau Buton, dikisahkan kembali oleh DR(HC) La Ode Unga Wathullah seorang penganut Tassauf dan Filsafat Budaya Buton pada tahun 1976 lalu di Makassar ketika itu beliau sedang menonton Televisi Republik Indonesia dengan acara Bantuan Belanda ke Indonesia melalui organisasi IGGI. Dalam konteks itu beliau mengingat kembali akan cerita lehuhurnya yang berasal dari Raja Liya Kepulauan Wangi-Wangi yang terdapat di bagian timur pulau Buton dan mengatakan bahwa "Ratu Welhelmina itu adalah orang Buton". Ratu Welhelmina semasa kecilnya (bayi) dinamakan Wa Ode Mina asal dari salah seorang anak petinggi istana Kesultanan Buton masa kepemimpinan Sultan Salihi atau Oputa Yi Munara mulai tahun 1871 sampai 1881. Pada Usia kecil (bayi) Wa Ode Mina sengaja diberikan oleh Sultan Salihi kepada Raja Belanda Willem III sebagai simbol dalam mempererat ikatan kekerabatan antara Kesultanan Buton dengan Kerajaan Belanda. Ketika Wa Ode Mina tiba di negeri Belanda, dia diambil menjadi anak angkat Ratu Emma dari Waldeck dan Pyrmont. Ratu Emma adalah istri kedua dari Raja Belanda Willem III yang selama dikawininya dia tidak mendapat karunia anak dari sang pencipta ilaihi Rabbi. Disisi lain, diluar konteks kisah formal tersebut, dalam kalangan dukun istana Kesultanan Buton dan atau dalam kalangan dukun/penasehat istana Kesultanan Buton jauh hari sebelum peristiwa tersebut terjadi, mereka sudah mendapatkan petunjuk ghaib bahwa hal tersebut mesti terjadi. Dalam ramalan dukun istana Kesultan Buton menyebutkan bahwa kelak disuatu saat nanti ada orang Buton menjadi Ratu Belanda dan sang ratu inilah kelak ketika dia berkuasa barulah kedaulatan Negara Kesatuan republik Indonesia bisa sepenuhnya diperoleh oleh Bangsa Indonesia atas kebaikan Ratu Belanda itu.
Dalam kisah sejarah yang tersurat di negeri Belanda, mengatakan bahwa Welhelmina semasa kecilnya sangat dekat sekali dengan sang ayah Raja Willem III ketimbang Ibundanya Ratu Emma. Ketika Wa Ode Mina diambil dari Buton, sang ayah Raja Willem III telah berusia 63 tahun. Wehelmina diberi gelar oleh sang ayah Raja Willem III sebagai "Wilhelmina Marie Van Orange-Nassau. Raja Willem III, lahir 31 Agustus 1881 dan wafat pada tanggal 28 November 1962 dalam usia 82 tahun. Tak disangka-sangka atas keajaiban yang diciptakan oleh Allah Subhannah Wata'alah bahwa Ratu Welhelmina semestinya tidak bisa dia menduduki tahta Ratu Belanda ketika itu, mengingat bahwa ayahandanya Raja Willem III telah mempunyai istri pertama bernama Ratu Sophie dan mempunyai 3 orang putra-putra yang gagah berani. Namun Tuhan Yang Maha Esa menunjukkan keadaan lain, akibat dari sesuatu sebab Raja Willem III kehilangan ketiga putranya tersebut dipanggil keharibaan Allah SWT. Putra terakhir Raja Belanda Willem III meninggal dunia saat Welhelmina masih berusia 6 tahun dan kemudian disusul oleh Raja Willem III meninggal dunia pada tanggal 23 November 1890 saat Welhelmina memasuki usia 10 tahun. Meskipun Welhelmina seketika menjadi Ratu Belanda, Ibunya Ratu Emma ditunjuk sebagai wali sampai usia Welhelmina mencapai 18 tahun.
Dalam masa awal kekuasaannya sebagai Ratu Belanda, Wilhelmina memperlihatkan diri sebagai pribadi yang kuat, berwibawa, bersikap taktis dan hati-hati dalam memutuskan sesuatu. Dia suka membantu negara-negara yang mendapat kesulitan seperti : Afrika Selatan, Republik Transvaal, Orange Free State, sehingga Ratu Wilhelmina memperoleh pengakuan internasional. Ratu Welhelmina juga dikenal mahir dalam mengola bisnis dan investasi, membuat dia sebagai salah satu wanita terkaya di dunia. Investasinya merambah Amerika Serikat dan sampai ke sumur minyak di wilayah-wilayah Hindia Belanda.
Pada tahun 1901, ia menikah dengan Pangeran Hendrik dari Macklemburg-Schwerin. Ratu Welhelmina dalam masa perkawinannya beberapa kali mengalami keguguran. Namun kelahiran anak satu satunya bernama Juliana pada tanggal 30 April 1909, menjadi obat penawar setelah perkawinan mereka mencapai usia 8 tahun lamanya tanpa anak.
Ketika menjelang akhir kekuasaannya, Ratu Belanda Wehelmina pada tanggal 4 September 1948, sebelum dia menyerahkan tumpuk kekuasaannya kepada putri tunggalnya bernama Juliana, dia mengingat kembali akan janjinya kepada leluhurnya di Buton untuk membalas budinya itu. Disaat perang berkecamuk antara Belanda dan para pejuang kemerdekaan bangsa Indonesia di pulau Jawa, maka diusahakanlah di lakukan perjanjian rahasia di atas kapal Karel Dorman antara Ratu Welhelmina yang diwakili oleh seorang kepercayaannya dengan mengundang Presiden Soekarno dan Sultan Falihi. Diatas kapal Karel Dorman itulah diputuskan bagaimana arah Indonesia dalam merebut kedaulatanya secara penuh dari Belanda.
Pada akhirnya dalam kisah ini masih timbul sejumlah pertanyaan; "Benarkah Ratu Welhelmina adalah anak dari seorang petinggi Istana Kesultanan Buton dengan semasa kecilnya bernama Wa Ode Mina?". "Kalau benar, siapakah sesunggguhnya nama ayahandanya dan apa pangkatnya dalam perangkat Istana Kesultanan Buton?" Apa maksud rahasia diserahkannya Wa Ode Mina kepada Raja Belanda Willem III?" "Benarkah bahwa sebelum penjajahan Belanda di Indonesia sudah ada hubungan-hubungan kekerabatan antara Sultan Buton dengan Kerajaan Belanda?". "Apa saja perjanjian di atas Kapal Karel Dorman tersebut?". Untuk menjawabnya masih diperlukan penelitian epitemologis secara menyeruluh yang dilakukan oleh para ahli antropologi budaya, ahli sejarah, ahli genetikalogi dan hasil yang didapatkan diharapkan dapat menguak tabir dari kisah rahasia ini untuk menjadi pengetahuan bangsa-bangsa di dunia.****

Selasa, 13 Juli 2010

MATERI MOUNTAINERING

Diterbitkan Mei 6, 2008 Materi 11 Komentar - komentar
Tag:Materi

Mendaki gunung adalah suatu kegiatan keras, penuh petualangan, membutuhkan keterampilan, kecerdasan, kekuatan, dan daya juang yang tinggi. Bahaya dan tantangan yang seakan hendak mengungguli, merupakan daya tarik dari kegiatan ini.

Pada hakekatnya bahaya dan tantangan tersebut adalah menguji kemampuan dirinya untuk bersekutu dengan alam yang keras, keberhasilan suatu pendakian yang sukar dan sulit berarti keunggulan terhadap rasa takut dan kemenangan terhadap perjuangan melawan dirinya sendiri.


B. PENGERTIAN DAN TUJUAN KEGIATAN MOUNTAINEERING

- Mountain = Gunung

- Mountaineer = Orang yang berkegiatan di gunung

- Mountaineering = Segala sesuatu yang berkaitan dengan gunung atau dalam arti yang luas berarti suatu perjalanan yang meliputi mulai dari hill walking sampai pendakian ke puncak-puncak gunung yang sulit

Banyak alasan orang melakukan kegiatan mountaineering namun pada dasarnya keitan itu dilakukan untuk :

1. Mata pencaharian

2. Adat Istiadat

3. Agama /Kepercayaan

4. Ilmu Pengetahuan

5. Petualangan

6. Olahraga

7. Rekreasi

C. TERMONOLOGI GUNUNG

a) Gunung : Suatu puncak ketinggian dari atas permukaan laut dan dataran di sekelilingnya.

b) Pegunungan : Barisan/sekumpulan gunung yang saling berdekatan.

c) Bukit : Gunung Yang ketinggianya tidak lebih dari 600 mdpl

d) Perbukitan : Barisan/sekumpulan bukit yang saling berdekatan.

e) Tebing : Lereng pada dinding gunung yang terjal

f) Sadel : Pertemuan dua titik pada satu punggungan

g) Pass : Celah panjang diantara dua punggungan

h) Col : Celah sempit diantara dua puncak

i) Plateau : Dataran tinggi diatas daerah ketinggian

j) Summit : Puncak

D. SEJARAH SINGKAT MOUNTAINEERING

Pendakian gunung sebenarnya telah dilakukan oleh para nenek moyang kita yang dimulai dengan bapak manuasia Nabi Adam AS yang menjelajahi bukit tursina untuk mencari cintanya Siti Hawa. Siti Hajar yang telah lintas dari bukit marwah ke bukit Safa ditemani dengan sherpa JIBRIL untuk mencari air bagi ismail yang lagi kehausan. Dan pendakian demi pendakian hingga saat ini masih terus berlangsung dan kelak (tak lama lagi ) giliran kalian untuk melanjutkan amanah menjaga kelanggengan kemanusian.

a. Sejarah Dunia

1942 : Anthoine de Ville memanjat tebing Mont Aiguille (2907 m) di pegunungan alpen untuk berburu chamois (Kambing gunung)

1624 : Pastor pastor Jesuit, melintasi pegunungan himalaya dari gharwal di Iindia ke Tibet menjalankan tugas misionarisnya

1760 : Professoe de Saussure menawarkan hadiah besar bagi siapa saja yang dapat menaklukkan puncak mont blanc guna kepentingan ilmiahnya.

1786 : Puncak tertinggi di pegunungan alpen Mont Blanc (4807 m) akhirnya dicapai oleh Dr. Michel Paccaro dan Jacquet Balmat.

1852 : Batu pertama jaman keemasan dunia keemasan di Alpen diletakkan oleh Alfred Wills dalam pendakiannya ke puncak Wetterhorn (3.708 m), cikal bakal pendakian gunung sebagai olah raga.

1852 : Sir George Everest, akhirnya menentukan ketinggian puncak tertinggi dunia, dan di abadikan dengan namanya (8.848 m), orang Nepal menyebut puncak ini dengan nama sagarmatha, orang tibet menyebutnya chomolungma.

1878 : Clinton Dent (bukan pepsoden) memnjat tebing Aigullie de dru di perancis yang memicu trend pemanjatan tebing yang tidak terlalu tinggi tetapi cukup curam dan sulit, banyak orang menganggap peristiwa ini adalah kelahiran panjat tebing

1895 : AF Mummery orang yang disebut sebagai bapak pendakian gunung modern hilang di Nanga Parbat (8.125 m), pendakian ini adalah pendakian pertama puncak di atas ketinggian 8.000 m

1924 : Mallory dan Irvina mencoba lagi mendaki Everest, keduanya hilang di ketinggian sekitar 8.400 m

1953 : Pada tanggal 29 mei Sir Edmund Hillary dan Sherpa Tenzing Norgay akhirnya mencapai atap dunia puncak everest.

b. Sejarah Indonesia

1623 : Yan Carstenz adalah orang pertama melihat adanya pegunungan sangat tinggi, dan tertutup salju di pedalaman irian

1899 : Ekspedisi Belanda pembuat peta di Irian menemukan kebenaran laporan Yan Carstensz hampir 3 abad sebelumnya tentang “ … pegunungan yang sangat tinggi, di beberapa tempat tertutup salju!” di perdalaman Irian. Maka namanya diabadikan sebagai nama puncak yang kemudian ternyata merupakan puncak gunung tertinggi di Indonesia.

1962 : Puncak Carstenz akhirnya berhasil dicapai oleh tim pimpinan Heinrich Harrer.

1964 : Beberapa pendaki Jepang dan 3 orang Indonesia, yaitu Fred Athaboe, Sudarto dan Sugirin, yang tergabung dalam Ekspedisi Cendrawasih, berhasil mencapai Puncak Jaya di Irian. Puncak yang berhasil didaki itu sempat dianggap Puncak Carstensz, sebelum kemudian dibuktikan salah.

Puncak Eidenburg, juga di Irian, berhasil di daki oleh ekspedisi yang dipimpin Philip Temple.

Dua perkumpulan pendaki gunung tertua di Indonesia lahir : Wanadri di Bandung dan Mapala UI di Jakarta, lalu di susul oleh perkumpulan perhimpunan pencinta alam lainnya mulai dari, MPA,SISPALA, KPA, ERNIPALA, MODIPALA dan sebagainya

1972 : Mapala UI, diantaranya adalah Herman O. Lantang dan Rudy Badil, berhasil mencapai Puncak cartenz. Mereka merupakan orang-orang sipil pertama dari Indonesia yang mencapai puncak ini.

E. PERSIAPAN DALAM SEBUAH PERJALANAN

1. Dapat berpikir secara logis.

Ini adalah elemen yang terpenting dalam membuat keputusan selama pendakian, dimana cara berpikir seperti ini lebih banyak mempertimbangkan faktor safety atau keselamatannya.

2. Memiliki pengetahuan dan keterampilan.

Meliputi pengetahuan tentang medan ( navigasi darat) ,cuaca dan teknik pendakian , pengetahuan tentang alat pendakian atau pemanjatan dan sebagainya.

3. Dapat mengkoordinir tubuh kita.

a. koordinasi antara otak dengan anggota tubuh.

- Haruslah terdapat keseimbangan antara apa yang dipikirkan di

Otak dan apa yang sanggup dilakukan oleh tubuh.

- Keseimbangan antara emosi dan kemampuan diri.

- Ketenangan dalam melakukan tindakan .

b. koordinasi antar anggota tubuh.

Ialah keseimbangan dan irama anggota tubuh itu sendiri dalam membuat gerakan-gerakan atau langkah- langkah ketika berjalan atau diam

4. kondisi fisik yang memadai.

Ini dapat dimengerti karena mendaki gunung termasuk dalam olahraga yang cukup berat . Seringkali berhasil tidaknya suatu pendakian / pemanjatan bergantung pada kekuatan fisik. Untuk mempunyai kondisi fisik yang baik dan selalu siap maka jalan satu-satunya haruslah berlatih.

5. Berdoa

Selamat Mendaki !!!!!

F. Jenis Perjalanan Berdasarkan Tingkat Kesulitan Medan.

Perjalanan baik pendakian atau pemanjatan berdasarkan pada tingkat kesulitan medan yang dihadapi dapat dibagi sebagai berikut:

1. Walking : Berjalan tegak, tidak diperlukan perlengkapan kaki yang serius.

2. Hiking (hill walking) : Medan sedikit bertambah sulit sehingga dibutuhkan perlengkapan kaki yang memadai.

3. Climbing

a. Rock Climbing : Pemanjatan pada medan batu .

- Scrambling : Medan semakin curam sehingga dibutuhkan bantuan tangan untuk menjaga keseimbangan tubuh. Praktis tidak memerlukan tali ataupun perlengkapan lainnya yang khusus.

- Technical Climbing : Pemanjatan pada permukaan tebing yang sulit. Dibutuhkan teknik khusus dan bantuan peralatan. Jenis ini di bagi dua, yaitu :

Ø Free Climbing: Rute yang dilalui sulit sehingga dibutuhkan tali, alat-alat dan teknik yang khusus untuk melindungi bila terjatuh . Patut diperhatikan bahwa alat –alat disini hanya berfungsi sebagai alat- alat pengaman saja dan bukan sebagai penambah ketinggian.

Ø Artificial Climbing: Tebing hanya memberikan celah yang sangat tipis atau bahkan tidak ada sehingga penggunaan tangan dan kaki saja adalah mustahil. Untuk itu pendakian jenis ini sepenuhnya tergantung kepada perealatan yang juga dipergunakan secara langsung untuk menambah ketinggian . Dapat dikatakan ketinggian kita dapat terus bertambah hanya semata-mata karena bantuan alat-alat seperti tangga tali dfan sebagainya.

b. Snow/Ice Climbing : Pemanjatan pada medan es dan salju

4. Expedition : Kegiatan pendakian yang membutuhkan berbagai pengetahuan dan membutuhkan waktu yang lama serta memerlukan pengorganisasian tertentu dengan berbagai variasi medan yang harus dilalui

G. Sistem/Teknik pendakian

Tidak semua medan yang dilalui untuk menuju puncak itu seragam sehingga ada beberapa sistem/teknik yang dilakukan untuk menuju puncak yang harus disesuaikan dengan karakter medan. Pada beberapa pendakian kita kenal ada tiga buah sistem/teknik pendakian yaitu :

1. Alpin Taktik : sistem pendakian ini biasa dilakukan pada medan yang jaraknya tidak terlalu jauh, dan tidak kembali lagi ke base camp serta seluruh tim pendaki harus dapat mencapi puncak (taktik ini berkembang di pegunungan alpen yang karakternya sangat sesuai dengan taktik ini)

2. Himalayan taktik : Sistem pendakian ini biasa dilakukan pada medan yang jaraknya cukup jauh sehingga untuk menuju puncak ada beberapa base camp yang didirikan guna melakukan sistem drop barang, pada taktik ini tidak semua anggota tim harus mencapai puncak (taktik ini berkembang di pegunungan himalaya yang karakternya sangat sesuai dengantaktik ini)

3. Siege taktik : Gabungan antara Alpin Taktik dan Himalayan taktik.

Penyeberangan Basah

Ada beberapa teknik/tips dalam melakukan penyeberangan disungai :

1. Carilah Jembatan
2. Jika jembatan tidak ada jangan berharap ada yang mau buatkan jadi carilah daerah aliran sungai tak beriak, deras dan dalam biasanya semakin ke hulu aliran sungai seperti itu ada
3. Jika kalian menyeberangi sungai dan ada tali, ada yang tau berenang ada juga tidak maka itu yang tau berenang menyeberang kesebelah dengan diikat tali lalu tali tali itu di tambatkan sudah itu nyebrang mako
4. Pada saat menyeberang sungai kalian bisa membawa tongkat untuk menjaga keseimbangan dan juga berguna untuk mengukur kedalaman air
5. Ingatlah jika menyeberang sungai jangan pernah membelakangi arah arus air hadapilah walau itu deras karena kalian akan jauh lebih kokoh dan lintasan jalur yang kalian lalui ada baiknya diagonal begitupun jika kalian menyeberang secara tim.

Selamat Mendaki !!!!!

11 Tanggapan ke “MATERI MOUNTAINERING”
Pengumpan untuk Entri ini Alamat Jejakbalik

1.
1 virus ji kodong,,,,, Mei 26, 2008 pukul 1:29 pm

salam kenal,,,
saya baru liat blognya haru ini
isinya bagus
materinya lebih banyak lebih bagus
mungkin sangat berguna
untuk teman-teman yang lagi
cari materi untuk
memperkaya khasanah keilmuan
di bidang alam bebas

bravo citaka…
salam hangat dari virus n friends
Mapala UVRI
mapalauvri@yahoo.com
Balas
2.
2 tekpala ft-umi Mei 11, 2009 pukul 1:56 pm

terimaksih atas materinya
Balas
3.
3 DENGKLUK Juli 10, 2009 pukul 1:38 pm

Matering blh juga???
Balas
4.
4 Muhammad iqbal Juli 16, 2009 pukul 11:31 am

bravo. boleh juga nich materinya
Balas
5.
5 Rizki Kadarisman September 24, 2009 pukul 11:13 pm

setelah di lihat materi mounteneringnya kurang… ini sih masih masuk ke sejarah pendakian….

di dalam mountenering ada beberapa hal yang perlu di perhatikan…

1.PLANING…
2. PENGENALAN LOKASI PENDAKIAN
3. PERSIAPAN
A. PERLENGKAPAN MASAK
B. NAVIGASI
C. PERLENGKAPAN TEMPAT BERTEDUH (TENDA)
4. SEBELUM PENDAKIAN SETIDAKNYA MEMILIKI BEKAL DALAM TEHNIK SURVIVAL (BERTAHAN hIDUP)
A. PENGENALAN MAKANAN.. LEWAT RASA.. WARNA.. DAN TES KE KULIT
B. PEMBUATAN BIVAK
C. TEHNIK MENINGGALKAN JEJAK DAN PENGENALAN CARA KODE DI ALAM

WADUH KALO GUA TULIS SMUA GAK CUKUP KALI BISA 5 HARI KAMU BACANYA…
TAPI MAAFIN YA KALO ADA SALAH KATA DALAM KIRIMAN INI

BY: KETUA
Balas
*
6 randa Desember 22, 2009 pukul 3:07 am

trimakasi materi nya???
Balas
6.
7 Rizki Kadarisman September 24, 2009 pukul 11:28 pm

setelah di lihat materi mounteneringnya kurang… ini sih masih masuk ke sejarah pendakian….

di dalam mountenering ada beberapa hal yang perlu di perhatikan…

1.PLANING…
2. PENGENALAN LOKASI PENDAKIAN
3. PERSIAPAN
A. PERLENGKAPAN MASAK
B. NAVIGASI
C. PERLENGKAPAN TEMPAT BERTEDUH (TENDA)
4. SEBELUM PENDAKIAN SETIDAKNYA MEMILIKI BEKAL DALAM TEHNIK SURVIVAL (BERTAHAN hIDUP)
A. PENGENALAN MAKANAN.. LEWAT RASA.. WARNA.. DAN TES KE KULIT
B. PEMBUATAN BIVAK
C. TEHNIK MENINGGALKAN JEJAK DAN PENGENALAN CARA KODE DI ALAM

WADUH KALO GUA TULIS SMUA GAK CUKUP KALI BISA 5 HARI KAMU BACANYA…
and maapin ya kalo ada salah salah kata dalam isi pesan ini….

oh ya saya mau minta tolong dong.. kirimin isi kode etik pecinta alam… aku dah lupa
kalo gak salah

KODE ETIK PENCINTA ALAM INDONESIA

*PENCINTA ALAM INDONESIA SADAR BAHWA ALAM BESERTA ISINYA ADALAH CIPTAAN TUHAN YANG MAHA ESA
*PENCINTA ALAM INDONESIA SADAR BAHWA SEGENAP PENCINTA ALAM ADALAH SAUDARA,SEBAGAI MAHLUK YANG MENCINTAI ALAM SEBAGAI ANUGERAH TUHAN YANG MAHA ESA
PENCINTA ALAM SADAR (TERUSNYA LUPA)

SESUAI DENGAN HAKEKAT DI ATAS KAMI DENGAN PENUH KESADARAN MENYATAKAN SEBAGAI BERIKUT
1. MENGABDI KEPADA TUHAN YANG MAHA ESA
2.MENJAGA ALAM BESERTA ISINYA SERTA MEMPERGUNAKAN SESUAI KEBUTUHAN
3 SAM PAI 6 LUPA

TANDA TANGANNYA LUPA JUGA HEHEHEHE

KALO MAU BANTU LEWAT EMAIL AJAH YA SAMA JUGA KOK ALAMT NYA DENGAN ALAMAT FACEBOOK

BY. KELOMPOK PENCINTA ALAM CRUISER MANADO

BY: KETUA
Balas
7.
8 amincitaka September 25, 2009 pukul 4:16 pm

To
Rizki Kadarisman

Materi mountaineering tersebut diatas, hanya memberi gambaran secara umum. jika akan dibahas secara khusus memang anda benar, akan memuat beberapa materi seperti yang anda tulis. Ada beberapa pembahasan yang akan masuk pada materi PPAT (Persiapan Perjalanan Alam Terbuka), Navigasi Darat, dan Materi Survival. (Materi tersebut anda dapat melihat pada halaman lain situs ini)

Kode Etik Pecinta Alam (koreksi) bukan 6 poin, tetapi 7 poin yakni (7) S e l e s a i

Kode Etik Pecinta Alam
Se Indonesia
Disyahkan Bersama Dalam
gladian Ke IV
di Ujung Pandang 1974
Terima kasih
Salam Lestari

Rabu, 30 Juni 2010

Sultan Butuni, Pemimpin Orang Buton

Posted by Zanikhan on May 6, '09 1:08 AM for everyone

Syaiful Halim
Selama ini, Pulau Buton lebih dikenal sebagai pulau penghasil aspal. Padahal di luar hasil bumi itu, pulau ini memiliki “harta karun” nan dasyat. Yakni, jejak
arkeologis berupa benteng-benteng yang nyaris mengepung seluruh pulau dan
sejarah panjang Kesultanan Butuni.
Pulau Buton adalah pulau benteng. Karena, bangunan yang menjadi basis pertahanan militer tersebut tersebar di banyak tempat. Sehingga, pulau tersebut kerap disebut sebagai “Negeri Seribu Benteng” atau “castle in town”. Karena,
kota-kota penting di pulau itu hampir dikelilingi benteng-benteng – mirip
konsep tata ruang negeri Jerman yang dikelilingi benteng-benteng. Namun, dunia pariwisata kerap “memaksa” wisatawan yang berkunjung ke daerah itu hanya mengenal Benteng Keraton Wolio. Ini bisa dimaklumi, karena benteng itu
merupakan simbol kejayaan Kesultanan Butuni, sekaligus sebagai satu-satunya
bukti sejarah yang masih terawat.
Benteng Keraton Wolio dibangun sejak masa pemerintahan Sultan Buton ke-3 La Sangaji pada abad ke-15. Dan, bangunan itu benar-benar rampung pada masa pemerintahan Sultan Buton ke-6 La Buke pada 1634. Keunikan bangunannya; bila dilihat dari atas, dengan bangunan sebelas selatan sebagai kepalanya, maka akan memnentuk huruf “dal” – huruf ke delapan pada alfabet bahasa Arab atau huruf terakhir nama Baginda Rasulallah Muhammad saw. Pintu benteng (lawa) berjumlah 12, yang bermakna jumlah lubang pada tubuh manusia. Atau, bisa juga bermakna 12 lokasi yang dipilih oleh Tuhan, untuk mendapatkan tanah pembentuk Nabi Adam As. Bastion (kubu pengawas) berjumlah 16. Tapi, sumber lain menyebutkan 17 – jumlah rakaat dalam shalat selama sehari. Angka-angka itu tidak muncul secara kebetulan. Tapi, perancang pembangunan benteng memang menyiapkannya secara khusus, untuk memberikan gambaran adanya nilai tasawuf dalam pemerintahan Kesultanan Butuni. Sekaligus monumen bagi rakyatnya, untuk terus memahami dan mengamalkan akhlak mulia yangbersandarkan ajaran Ilmu Tasawuf tersebut.
Dulu, Benteng Keraton Wolio menjadi pusat kegiatan pemerintahan, ekonomi, sosial, dan syiar Islam. Selain itu, bagian dalam benteng juga menjadi lokasi pemukiman. Hal itu memungkinkan, karena benteng memiliki lahan yang luas, yakni sekitar 400.000 m² dan dikelilingi benteng sepanjang 2740 m. Tinggi temboknya 2-8 m dan lebar 1-2 m.
Pulau Buton di masa silam adalah Kerajaan Hindu dengan I Wa Kaa Kaa sebagai raja pertamanya. Saat itu, nama Pulau Buton telah diperhitungkan dan tercatat dalam sejarah pelayaran nusantara. Terbukti, Kitab Negara Kertagama karangan Mpu Prapanca menuliskan keberadaan Pulau Buton. Kerajaan Buton berubah menjadi Kesultanan Butuni, setelah Raja Buton ke-6 Timbang Timbangan atau Lakilaponto atau Halu Oleo menjadi muslim dan berganti nama menjadi Sultan Murhum Kaimuddin Khalifatul. Pengisalaman ini merupakan buah kehadiran Ahli Ilmu Tasawuf asal Negeri Gujarat Syekh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman Al-Fathani di Pulau Buton.
Wajah Islam di lingkungan kesultanan makin berbinar, setelah sang syekh pun
menanamkan ajaran tasawuf pada sultan dan keluarganya. Sehingga, pemahaman mereka akan Islam benar-benar makin kokoh. Buah terindah dari bibit ajaran soal penyucian akhlak oleh Syekh Abdul Wahid dan Sultan Murhum Kaimuddin adalah diterbitkannya UUD Martabat Tujuh sebagai undang-undang tertinggi di negeri itu. Perancang UUD tersebut adalah Sultan Butuni ke-6 Dayanu Ikhsanuddin.
Kekayaan ajaran tasawuf di setiap sendi kehidupan Kesultanan Butuni juga diperlihatkan manuskrip-manuskrip kuno, yang disimpan seorang warga Benteng Keraton Mulia, Muzaji Mulki. Seluruh manuskrip bertuliskan huruf Arab namun isinya menggunakan Bahasa Arab, Wolio, dan Melayu. Bahasa Melayu muncul dalam manuskrip, karena Syekh Abdul Wahid lama bermukim di Johor, Malaysia. Bahkan, penyebar Islam atau guru-guru yang berdatangan ke pulau tersebut setelah Syekh Abdul Wahid umumnya berasal dari Negeri Jiran.
Namun, yang harus dicatat dengan tinta emas adalah kehadiran UUD Martabat Tujuh. Karena, hal itu sama artinya, Kesultanan Butuni telah menempatkan ajaran tasawuf sebagai pijakan utama. Sehingga, mereka bukan lagi berada di wilayah syariat – seperti yang saat ini ramai diterapkan di berbagai daerah di tanah air. Namun, mereka justru telah berada di wilayah tarekat! Dengan UUD Martabat Tujuh, Kesultanan Butuni membangun tata kehidupan yang demokratis dan bertanggungjawab. Bahkan, jabatan sultan pun bukan dicapai karena trah semata. Tapi, ia merupakan orang yang dipilih oleh Anggota Dewan (patalimbona) karena kemampuan dan akhlaknya. Karena persoalan akhlak, seorang sultan bisa dilengserkan bila kedapatan melakukan pelanggaran.
Selain itu, tata cara pengaturan pemerintahan, pengambilan keputusan, dan hubungan sosial antarwarga atau dengan negeri lain, semuanya atas dasar akhlak mulia. Bukan untuk menimbulkan masalah. Tapi, memang ditujukan untuk kesejahteraan dan keselamatan seluruh rakyat. Sehingga, sang sultan bertanggungjawab penuh atas situasi lahir-batin seluruhya warganya. Ia juga sadar bahwa kelak Allah swt akan meminta pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.
Pimpinan atau pejabat apa pun di masa itu biasanya akan melakukan sujud syukur ketika tugasnya berakhir. Jadi, bukan ketika ia terpilih atau diangkat. Hal ini merupakan cermin, tugas atau jabatan adalah amanah, hingga harus dilakukan dengan penuh tanggungjawab. Setelah selesai dan dianggap
berhasil, maka merasa perlu untuk berterima kasih kepadaNya. Karena,
sesungguhnya ia hanyalah kepanjangan dari tangan-tangan Yang Maharaja.
Cerita tentang tasawuf itu sendiri hingga kini masih menjadi kebanggaan warga Pulau Buton. Tapi, jangan tanya soal kelompok tarekat di tempat itu. Karena, mereka umumnya masih tertutup dan menganggapnya sebagai hal yang rahasia. Hanya orang-orang tertentu yang berhak tahu dan bisa menjadi bagian dari
komunitasnya. Kenyataan ini bertolak belakang dengan situasi di Jawa, Sulawesi
Selatan, atau Sulawesi Barat, yang masih memberikan “ruang” bagi orang awam, untuk mengetahui keberadaan sebuah kelompok tarekat.
Inspirasi yang berhembus dari Pulau Buton adalah betapa indahnya taman surga yang dikelola dengan nuansa Islam yang sebenar-benarnya Islam. Islam yang
menghadirkan kedamaian dan ketentraman bagi siapa pun. Utamanya, Islam yang dikembangkan itu berpijak pada martabat syariat, tarekat, hakekat, dan
ma’rifat. Karena, Kesultanan Butuni senantiasa dipimpin oleh Sultan yang
memahami dan mengamalkan Ilmu Tasawuf secara mendalam. Sehingga, kebutuhan sang Sultan bukan lagi untuk diri pribadi. Tapi, lebih kepada Diri Pribadi. Semuanya hanya untuk Yang Maharaja. Maka, kemuliaan pulalah yang diraih oleh negeri dan rakyatnya. Subhanallah.
Bila diamati lebih dalam, para Sultan Butuni jelas merupakan gambaran
pribadi-pribadi yang senantiasa berserah diri kepada yang Mahasuci. Dengan
demikian, mereka pun telah melewati tahapan-tahapan perjalanan batiniah yang
panjang. Dengan pribadi yang senantiasa berserah diri, maka jelas mereka pun
senantian bersabar, bersyukur, bertawakal, dan berzuhud. Serta, istiqomah menjaga bangunan hatinya. Maka sangatlah wajar, bila produk-produk yang dihasilkan oleh para sultan adalah senantiasa menebarkan kemuliaan bagi warga Pulau Buton. Bahkan, mereka pun benar-benar bertanggungjawab atas apa-apa yang diterima oleh rakyatnya secara lahiriah atau batiniah. Sehingga, Pulau Buton laksana taman surga bagi para penghuninya. Serta, membuat sultan dan rakyatnya terus saja istiqomah berserah diri kepada Yang Maharaja.
Di tempat saat ini kita berdiri dan mengais nafkah, adakah pemimpin nan kharismatik laksana para Sultan Butuni? Atau, paling tidak ia memiliki pola leadership laksana punggawa perahu sandeq? Bila tidak, lalu bagaimana kita menyikapinya?
Belajarlah kepada sikap Imam Ali bin Abi Thalib kw, ketika beliau dihadapkan pada masalah yang sama. Jawab beliau, “Itulah saudara-saudara kita yang berbeda paham dengan kita.”
Sekadar berbeda paham. Sederhana alasannya. Sehingga, kita tidak perlu berpikir terlalu jauh, untuk menuduhnya sebagai musuh. Bahkan, jangan lagi menyebutnya sebagai kaum kafir atau munafik. Biarlah hanya Allah Swt yang mengatur sebutan atau julukan-julukan buat mereka. Namun, sebagai manusia yang paham akan adab dan etika pergaulan, kita harus menjalankan hukum pergaulan yang lebih sehat dan berakhlak mulia. Bersikap seperti biasa dan memandang atasan dan kaumnya sebagai saudara-saudara kita juga.
Dalam bahasa politik, “tidak ada pertemanan yang abadi”. Karena itu, berhati-hatilah dalam melangkah dan berhati-hatilah saat bersikap terhadap orang lain. Sekarang teman atau sahabat, esok belum tentu. Sekarang musuh atau lawan, esok juga belum tentu. Waktu sering mengarahkan pada perubahan-perubahan. Bahkan, Rasulallah saw sudah memprediksi dan mewarningnya jauh-jauh hari, untuk selalu bijak dalam membuat keputusan. Tujuannya, apalagi kalau bukan untuk menyelamatkan umatnya dari keterasingan dan kesalahan dalam bergaul.
Bila hal itu masih mengganjal, cobalah bertanya kepada diri kita sendiri dan
menjawabnya secara jujur. Jadikan pertanyaan-pertanyaan ini sebagai bahan
introspeksi, agar tidak melulu berpikir tentang sikap atau karakter atasan atau
pemimpin kita. Sebaliknya, kita mencoba mengawalinya dari diri kita sendiri.
Apa yang sebenarnya sedang kita cari?
Kalau arah pertanyaan itu tentang jabatan, kedudukan, posisi, atau keinginan
mendapatkan fasilitas duniawi, maka alangkah hinanya diri ini. Karena,
itu sama artinya dengan memberhalakan dan memuliakan masalah-masalah duniawi. Jabatan atau posisi memang berdampak pada income atau gaji. Termasuk, fasilitas-fasilitas perusahaan. Selain itu, juga akan berdampak pada penghormatan atau aktualisasi diri di tengah masyarakat. Begitu menggiurkan, memang.
Siapa yang tidak ingin kaya? Siapa yang tidak ingin memiliki banyak harta-benda? Siapa yang tidak ingin dihargai? Siapa yang tidak ingin dimuliakan? Pasti semua orang, karyawan di kantor mana pun, memang berkeinginan dan berlomba-lomba memburunya. Tapi, apa hal-hal seperti itu yang menjadi tujuan hidup?
Padahal tanpa itu semua, Allah pun tetap memberikan tempat untuk orang-orang yang mau dekat denganNya. Orang-orang yang taqwa. Banyak contoh tentang orang-orang yang kaya-raya, memiliki jabatan dan posisi terhormat, dan dielu-elukan orang di mana pun, tapi hatinya merana. Hatinya tersiksa. Hatinya justru dipenjarakan oleh keduniawiannya sendiri.
Karena itu, pendapat untuk mengedepankan jabatan, posisi, fasilitas, harta, atau kehormatan, tanpa mengindahkan pemberian yang sesuai porsi dari Nya, jelas keliru. Karena, khawatir, jabatan, harta, dan kehormatan itulah, yang akan membawa kita lari dari Allah. Sungguh malu rasanya, ketika kita ditantang untuk menjawab pertanyaan tentang tujuan hidup, namun sesungguhnya kita termasuk orang yang mendewakan jabatan, harta, dan kehormatan. Naudzubillah.

Tidak cukupkah apa-apa yang telah kita dapat selama ini?
Bagaimana pula menjawab pertanyaan ini, bila kita tidak pernah merasa cukup dengan apa-apa yang kita dapat selama ini. Sungguh, kita termasuk orang yang tidak bisa berterima-kasih. Kita tergolong orang-orang yang tidak bisa bersyukur.
Padahal, Allah telah melimpahkan segala-galanya untuk hidup kita. Cobalah
menoleh sedikit saja ke samping kanan atau kiri. Bahkan, ke bawah. Perhatikanlah, adakah mereka yang hidup tidak seberuntung kita?
Jawabannya, pasti sangat banyak! Sangat banyak dibandingkan harga burger yang kita beli di foodcourt. Artinya, sesungguhnya kita sudah hidup berlebih. Lebih di atas rata-rata. Jadi, saatnyalah bersyukur dan berterima-kasih.
Tidakkah kita inginkan kemuliaan di alam baqa?
Inilah pertanyaan terberat, yang sulit untuk dijawab.
Ingat kembali cerita raja mukmin dan raja kafir. Ya, meraih kemuliaan seperti sang raja mukmin. Hidup secara sederhana dan apa adanya, serta berbuat banyak kebajikan untuk memanjakanNya, namun memperoleh tempat terhormat di alam abadi nanti. Artinya, keinginan untuk mengiyakan pertanyaan ini sama artinya, dengan terus mengakui adaNya dan kuasaNya. Yakinlah, Allah itu ada dan mengawasi setiap gerak kita. Allah juga begitu berkuasa untuk mengatur
segalanya. Terutama, kehidupan makhluk-makhluk ciptaanNya. Karena itu, tidak
alasan untuk lepas dari keyakinan tentang adaNya. Inilah pelajaran tauhid
pertama yang perlu dirasakan kebenarannya.
Bila adaNya telah kita dapati, maka saatnyalah menjejaki keyakinan tentang kuasaNya. Sesungguhnya, perjalanan hidup manusia dan segala geraknya adalah atas kuasaNya. Perusahaan hanyalah syariat. Boss atau atasan pun syariat, untuk meyakini adaNya dan kuasaNya. Karena itu, kita harus makin meyakini adaNya. Kita juga harus merasakan kuasaNya. Teruslah mendekatkan
diri dengan shalat dan zikir agar adaNya memang terasa. Sehingga, kita tak lagi
ragu akan kebenaran dan keagungan kalimat sang kekasih Allah. Bila keraguan itu tak ada lagi, bila keyakinan itu makin menebal, saatnya jugalah kita menikmati
kuasaNya. Bukan lagi sebatas obyek, yang terus disuapi nikmat dan hidayahNya.
Tapi, jadilah kepanjangan tanganNya. Dengan berbuat kebajikan di segala
kehidupan.
Istighfar dan teruslah istighfar. Bertanya lagi pada diri kita tentang tujuan hidup. Akankah jabatan, posisi, dan fasilitas perusahaan, menjadi sasaran kita? Sungguh sayang seribu sayang, bila pada akhirnya akar masalah dan jawabannya hanyalah soal materi. Ya, persoalan duniawi. Saatnyalah meyakini prinsif kita sendiri. Jangan takut dimusuhi atau tidak memiliki teman. Tentukan posisi, di mana kita akan berdiri? Kita akan menjadi kaum apa? Tentukan pilihan dan rasakan resikonya. Karena, kita harus selalu kan sadar, setiap keputusan akan berbuah resiko. Saatnyalah membela kata hati kita sendiri, yang sudah kita yakini kebenarannya di lihat dari sudut mana pun.
Dengan begitu, barulah kita bisa berani memutuskan diri, untuk beristiqomah. Memulai hidup baru dengan konsep yang tercerahkan, dengan akhlak yang lebih mulia, dan dengan optimisme yang lebih besar. Tidak lagi memelihara penyakit hati. Tidak ada lagi orang-orang yang musuh atau pesaing. Tidak ada lagi orang-orang yang kita sebut kafir atau munafik.
Tidak mudah mendapati pemimpin laksana Sultan Butuni. Atau sedikitnya, seperti punggawa perahu sandeq. Mereka lahir dan berkembang di taman surga, yang memungkinkan individu-individunya memiliki pribadi-pribadi yang senantiasa bersabar, bersyukur, bertawakal, berzuhud, dan berserah diri. Tapi sebagai insan yang bertekad memuliakan diri ini dan sekeliling kita, maka sudah
sepantasnya, perangkat pribadi-pribadi seperti sang Sultan Butuni itu melekat
juga di bangunan hati kita. Sehingga, kalaupun kita belum memiliki kesempatan
menjadi pemimpin, tapi kita telah bersiap-siap dengan bekal yang memadai. Kita
bisa terlihat sebagai pemimpin, meskipun saat itu posisi kita bukan sebagai
pemimpin. Itulah pribadi-pribadi yang kharismatik dan berwibawa. Dengan
kenyataan itu, paling tidak kita bisa lebih siap berhadapan dengan siapa pun.
Temasuk, atasan kita. Tanpa merasa kecil, rendah, atau tidak berguna.
Tapi, dengan bekal kemampuan dan semangat, serta personal power yang melimpah, sudah pasti, kita hanya tengah berhitung-hitungan dengan waktu. Sejatinya, dengan kemampuan dan semangat itu sendiri, maka kita telah memperlihatkan secara nyata elemen kepatuhan kita terhadap profesi dan perusahaan (jadi bukan dengan atasan semata). Dan, itu jauh lebih mulia, dibandingkan hanya menyajikan semangat dan kepatuhan. Ada pun masalah keberuntungan, kembali berpulang kepada Yang Mahaberkehendak.
Sebagai manusia, kita hanya wajib bersyariat. Sedangkan masalah hakekat, sepenuhnya menjadi hak Allah. Keseimbangan memaknai kewajiban dan hak itulah yang menunjukkan kemuliaan kita yang sesungguhnya. Semoga saja sebagai manusia yang sempurna atau insan kamil.
Kesultanan Butuni memberikan banyak pelajaran bagi kita. Pertama, soal pola kepemimpinan dalam kesultanan yang memiliki tradisi Islam begitu kokoh. Dan kedua, tentu saja, menyangkut sosok pemimpin negeri yang amanah. Berabad-abad yang lalu, kalangan gusti di Kesultanan Butuni telah membenamkan diri dalam zona kesuciaan dengan penuh keikhlasan dan keridhaan. Sebenarnya, saat itu mereka tengah menikmati banyak kemuliaan laksana Nabi Allah Sulaiman as. Namun, ketika pesan kebangkitan atau pencerahan diri tiba, mereka pun menyambutnya dengan gegap-gempita. Mereka bukan hanya menikmati kenyamanan Islam sebagai kendaraan untuk menapaki jalan lurus.
Tapi, mereka justru makin melarutkan diri dengan kedalaman ajaran Islam itu
sendiri, untuk menjangkau surga yang sebenar-benarnya. Surga di dunia dan
akhirat. Amati kembali bagaimana pribadi-pribadi yang diperlihatkan oleh para
Sultan Butuni. Perhatikan juga bagaimana ia dilahirkan dan ditempa oleh
sekelilingnya. Para Sultan Butuni adalah produk masyarakat adat yang
terkondisikan untuk senantiasa bersyukur, bertawakal, berzuhud, dan berserah
diri, kepada Yang Maharaja. Sehingga, sangatlah wajar istiqomah batiniah secara massal itu membentuk pribadi-pribadi nan mempersona. Yakni, para pemimpin yang bersiaga mengemban amanah, mencurahkan kemuliaan, dan menghindangkan surga bagi rakyatnya.
Kisah para Sultan Butuni tidak ubahnya kisah bunga hias nan indah, tapi membenamkan diri di antara rerumputan liar. Padahal, ia berada di vas bunga besar dan indah dan diletakkan di rumah kaca. Tapi, ia ikhlas menghantarkan kemuliaan derajatnya untuk menyatu dengan tanaman lain. Bahkan, rerumputan. Dan, dengan tangan mulianya itulah, ia tebarkan kemuliaan bagi tanaman lain. Sehingga mereka pun sama-sama berada di taman luas nan indah.
Para Sultan Butuni merupakan bunga inspirasi pemimpin negeri yang senantiasa
berserah diri kepada Yang Maharaja. Karena, ia mengemban amanah itu kemuliaan dirinya dan juga rakyatnya. Serta menjadikan Kesultanan Butuni sebagai surga bagi warga Pulau Pulau Buton. Dan, yakinilah bahwa pada hakekatnya setiap dari kita pun mengemban amanah laksana Sultan Butuni. Namun, adakah kesabaran untuk menantikan masa itu, serta kesiapan untuk menebarkan kemuliaan untuk sekeliling kita? Masa itu pastinya akan datang. Entah di ruang yang mana.
Yang pasti, bila di hati kita masih ada kejengkelan akan nasib yang belum pasti atau berbagai belenggu persoalan lainnya, maka segera saja membasuh wajah dengan air wudhu. Lalu, dirikan shalat sunnah dan fardhu, serta berzikir
selepas-lepasnya. Kita coba tauladani setangkai rumput yang rajin membasuh
daun-daunnya dengan embun pagi seraya mengalunkan pujian buatNya. Di hadapan Yang Mahahidup, kita bisa berserah diri sambil mengungkapkan kegalauan hati dengan sepuas-puasnya.
Dia ada, karena itu Dia hadirkan nama Baginda Rasullah Muhammad saw di langit ketujuh, sehingga Nabi Allah Adam as menyaksikannya. Bahkan, beliau berdoa atas nama makhluk ciptaanNya yang tersempurna dan terkasih itu.
Dia ada, karena itu Dia sediakan alam semesta dan isinya, untuk menampung harmoni kehidupan makhluk-makhluknya. Bahkan, Dia pun menebarkan kemuliaan nama-nama agungNya, agar dijadikan selimut bagi makhlukNya
yang paling sempurna.
Dia berkuasa, karena itu Dia juga merancang dan mengatur alur kehidupan makhluk-makhlukNya dengan begitu sempurna. Hidup-mati kaya-miskin, suka-duka, berhasil-gagal, adalah bukti-bukti kecintaan kepada makhluk-makhlukNya. Sehingga, Dia merasakan sentuhan bersabar, bersyukur, bertawakal, berzuhud, dan bertaslim, dari makhluk-makhlukNya. Agar mereka benar-benar mampu meraih cintaNya nan tiada tara.(blog liputan6/zkh)

http://zanikhan.multiply.com/profile

DAFTAR RAJA DAN SULTAN BUTON


Ditulis oleh orangbuton di/pada 5 Juni 2009
Raja-raja:
1. Raja Putri Wa Kaa Kaa
2. Raja Putri Bulawambona
3. Raja Bataraguru
4. Raja Tuarade
5. Raja Mulae
6. Raja Murhum
Sultan-sultan:
1. Sultan Murhum (1491-1537 M)
2. Sultan La Tumparasi (1545-1552)
3. Sultan La Sangaji (1566-1570 M)
4. Sultan La Elangi (1578-1615 M)
5. Sultan La Balawo (1617-1619)
6. Sultan La Buke (1632-1645)
7. Sultan La Saparagau (1645-1646 M)
8. Sultan La Cila (1647-1654 M)
9. Sultan La Awu (1654-1664 M)
10. Sultan La Simbata (1664-1669 M)
11. Sultan La Tangkaraja (1669-1680 M)
12. Sultan La Tumpamana (1680-1689 M)
13. Sultan La Umati (1689-1697 M)
14. Sultan La Dini (1697-1702 M)
15. Sultan La Rabaenga (1702 M)
16. Sultan La Sadaha (1702-1709 M)
17. Sultan La Ibi (1709-1711 M)
18. Sultan La Tumparasi (1711-1712M)
19. Sultan Langkariri (1712-1750 M)
20. Sultan La Karambau (1750-1752 M)
21. Sultan Hamim (1752-1759 M)
22. Sultan La Seha (1759-1760 M)
23. Sultan La Karambau (1760-1763 M)
24. Sultan La Jampi (1763-1788 M)
25. Sultan La Masalalamu (1788-1791 M)
26. Sultan La Kopuru (1791-1799 M)
27. Sultan La Badaru (1799-1823 M)
28. Sultan La Dani (1823-1824 M)
29. Sultan Muh. Idrus (1824-1851 M)
30. Sultan Muh. Isa (1851-1861 M)
31. Sultan Muh. Salihi (1871-1886 M)
32. Sultan Muh. Umar (1886-1906 M)
33. Sultan Muh. Asikin (1906-1911 M)
34. Sultan Muh. Husain (1914 M)
35. Sultan Muh. Ali (1918-1921 M)
36. Sultan Muh. Saifu (1922-1924 M)
37. Sultan Muh. Hamidi (1928-1937 M)
38. Sultan Muh. Falihi (1937-1960 M).

KODE ETIK PECINTA ALAM SE-INDONESIA

Bunyi dari kode etik pecinta alam Indonesia adalah sebagai berikut:

Pecinta Alam Indonesia sadar bahwa alam beserta isinya adalah
ciptaan Tuhan Yang Maha Esa

Pecinta Alam Indonesia adalah bagian dari masyarakat
Indonesia sadar akan tanggung jawab kepada Tuhan, bangsa, dan
tanah air

Pecinta Alam Indonesia sadar bahwa pecinta alam adalah sebagian
dari makhluk yang mencintai alam sebagai anugerah yang Mahakuasa

Sesuai dengan hakekat di atas, kami dengan kesadaran
menyatakan :

1. Mengabdi kepada Tuhan Yang Maha Esa
2. Memelihara alam beserta isinya serta menggunakan sumber alam
sesuai dengan kebutuhannya
3. Mengabdi kepada bangsa dan tanah air
4. Menghormati tata kehidupan yang berlaku pada masyarakat
sekitar serta menghargai manusia dan kerabatnya
5. Berusaha mempererat tali persaudaraan antara pecinta alam
sesuai dengan azas pecinta alam
6. Berusaha saling membantu serta menghargai dalam pelaksanaan
pengabdian terhadap Tuhan, bangsa dan tanah air
7. Selesai

Disyahkan bersama dalam
Gladian Nasional ke-4
Ujung Pandang, 1974

Sejarah Buton Pada Masa Lampau


BUTON NEGERI BENTENG

Syaiful Halim

Selama ini, Pulau Buton lebih dikenal sebagai pulau penghasil aspal. Padahal di luar hasil bumi itu, pulau ini memiliki “harta karun” nan dasyat. Yakni, jejak arkeologis berupa benteng-benteng yang nyaris mengepung seluruh pulau dan sejarah panjang Kesultanan Butuni.

Pulau Buton adalah pulau benteng. Karena, bangunan yang menjadi basis pertahanan militer tersebut tersebar di banyak tempat. Sehingga, pulau tersebut kerap disebut sebagai “Negeri Seribu Benteng” atau “castle in town”. Karena, kota-kota penting di pulau itu hampir dikelilingi benteng-benteng – mirip konsep tata ruang negeri Jerman yang dikelilingi benteng-benteng. Namun, dunia pariwisata kerap “memaksa” wisatawan yang berkunjung ke daerah itu hanya mengenal Benteng Keraton Wolio. Ini bisa dimaklumi, karena benteng itu merupakan simbol kejayaan Kesultanan Butuni, sekaligus sebagai satu-satunya bukti sejarah yang masih terawat.

Benteng Keraton Wolio dibangun sejak masa pemerintahan Sultan Buton ke-3 La Sangaji pada abad ke-15. Dan, bangunan itu benar-benar rampung pada masa pemerintahan Sultan Buton ke-6 La Buke pada 1634. Keunikan bangunannya; bila dilihat dari atas, dengan bangunan sebelas selatan sebagai kepalanya, maka akan memnentuk huruf “dal” – huruf ke delapan pada alfabet bahasa Arab atau huruf terakhir nama Baginda Rasulallah Muhammad saw. Pintu benteng (lawa) berjumlah 12, yang bermakna jumlah lubang pada tubuh manusia. Atau, bisa juga bermakna 12 lokasi yang dipilih oleh Tuhan, untuk mendapatkan tanah pembentuk Nabi Adam As. Bastion (kubu pengawas) berjumlah 16. Tapi, sumber lain menyebutkan 17 – jumlah rakaat dalam shalat selama sehari. Angka-angka itu tidak muncul secara kebetulan. Tapi, perancang pembangunan benteng memang menyiapkannya secara khusus, untuk memberikan gambaran adanya nilai tasawuf dalam pemerintahan Kesultanan Butuni. Sekaligus monumen bagi rakyatnya, untuk terus memahami dan mengamalkan akhlak mulia yangbersandarkan ajaran Ilmu Tasawuf tersebut.

Dulu, Benteng Keraton Wolio menjadi pusat kegiatan pemerintahan, ekonomi, sosial, dan syiar Islam. Selain itu, bagian dalam benteng juga menjadi lokasi pemukiman. Hal itu memungkinkan, karena benteng memiliki lahan yang luas, yakni sekitar 400.000 m² dan dikelilingi benteng sepanjang 2740 m. Tinggi temboknya 2-8 m dan lebar 1-2 m.

Pulau Buton di masa silam adalah Kerajaan Hindu dengan I Wa Kaa Kaa sebagai raja pertamanya. Saat itu, nama Pulau Buton telah diperhitungkan dan tercatat dalam sejarah pelayaran nusantara. Terbukti, Kitab Negara Kertagama karangan Mpu Prapanca menuliskan keberadaan Pulau Buton. Kerajaan Buton berubah menjadi Kesultanan Butuni, setelah Raja Buton ke-6 Timbang Timbangan atau Lakilaponto atau Halu Oleo menjadi muslim dan berganti nama menjadi Sultan Murhum Kaimuddin Khalifatul. Pengisalaman ini merupakan buah kehadiran Ahli Ilmu Tasawuf asal Negeri Gujarat Syekh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman Al-Fathani di Pulau Buton.

Wajah Islam di lingkungan kesultanan makin berbinar, setelah sang syekh pun menanamkan ajaran tasawuf pada sultan dan keluarganya. Sehingga, pemahaman mereka akan Islam benar-benar makin kokoh. Buah terindah dari bibit ajaran soal penyucian akhlak oleh Syekh Abdul Wahid dan Sultan Murhum Kaimuddin adalah diterbitkannya UUD Martabat Tujuh sebagai undang-undang tertinggi di negeri itu. Perancang UUD tersebut adalah Sultan Butuni ke-6 Dayanu Ikhsanuddin.

Kekayaan ajaran tasawuf di setiap sendi kehidupan Kesultanan Butuni juga diperlihatkan manuskrip-manuskrip kuno, yang disimpan seorang warga Benteng Keraton Mulia, Muzaji Mulki. Seluruh manuskrip bertuliskan huruf Arab namun isinya menggunakan Bahasa Arab, Wolio, dan Melayu. Bahasa Melayu muncul dalam manuskrip, karena Syekh Abdul Wahid lama bermukim di Johor, Malaysia. Bahkan, penyebar Islam atau guru-guru yang berdatangan ke pulau tersebut setelah Syekh Abdul Wahid umumnya berasal dari Negeri Jiran.

Namun, yang harus dicatat dengan tinta emas adalah kehadiran UUD Martabat Tujuh. Karena, hal itu sama artinya, Kesultanan Butuni telah menempatkan ajaran tasawuf sebagai pijakan utama. Sehingga, mereka bukan lagi berada di wilayah syariat – seperti yang saat ini ramai diterapkan di berbagai daerah di tanah air. Namun, mereka justru telah berada di wilayah tarekat! Dengan UUD Martabat Tujuh, Kesultanan Butuni membangun tata kehidupan yang demokratis dan bertanggungjawab. Bahkan, jabatan sultan pun bukan dicapai karena trah semata. Tapi, ia merupakan orang yang dipilih oleh Anggota Dewan (patalimbona) karena kemampuan dan akhlaknya. Karena persoalan akhlak, seorang sultan bisa dilengserkan bila kedapatan melakukan pelanggaran.

Selain itu, tata cara pengaturan pemerintahan, pengambilan keputusan, dan hubungan sosial antarwarga atau dengan negeri lain, semuanya atas dasar akhlak mulia. Bukan untuk menimbulkan masalah. Tapi, memang ditujukan untuk kesejahteraan dan keselamatan seluruh rakyat. Sehingga, sang sultan bertanggungjawab penuh atas situasi lahir-batin seluruhya warganya. Ia juga sadar bahwa kelak Allah swt akan meminta pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.

Pimpinan atau pejabat apa pun di masa itu biasanya akan melakukan sujud syukur ketika tugasnya berakhir. Jadi, bukan ketika ia terpilih atau diangkat. Hal ini merupakan cermin, tugas atau jabatan adalah amanah, hingga harus dilakukan dengan penuh tanggungjawab. Setelah selesai dan dianggap berhasil, maka merasa perlu untuk berterima kasih kepadaNya. Karena, sesungguhnya ia hanyalah kepanjangan dari tangan-tangan Yang Maharaja.

Cerita tentang tasawuf itu sendiri hingga kini masih menjadi kebanggaan warga Pulau Buton. Tapi, jangan tanya soal kelompok tarekat di tempat itu. Karena, mereka umumnya masih tertutup dan menganggapnya sebagai hal yang rahasia. Hanya orang-orang tertentu yang berhak tahu dan bisa menjadi bagian dari komunitasnya. Kenyataan ini bertolak belakang dengan situasi di Jawa, Sulawesi Selatan, atau Sulawesi Barat, yang masih memberikan “ruang” bagi orang awam, untuk mengetahui keberadaan sebuah kelompok tarekat.

Inspirasi yang berhembus dari Pulau Buton adalah betapa indahnya taman surga yang dikelola dengan nuansa Islam yang sebenar-benarnya Islam. Islam yang menghadirkan kedamaian dan ketentraman bagi siapa pun. Utamanya, Islam yang dikembangkan itu berpijak pada martabat syariat, tarekat, hakekat, dan ma’rifat. Karena, Kesultanan Butuni senantiasa dipimpin oleh Sultan yang memahami dan mengamalkan Ilmu Tasawuf secara mendalam. Sehingga, kebutuhan sang Sultan bukan lagi untuk diri pribadi. Tapi, lebih kepada Diri Pribadi. Semuanya hanya untuk Yang Maharaja. Maka, kemuliaan pulalah yang diraih oleh negeri dan rakyatnya. Subhanallah.

Bila diamati lebih dalam, para Sultan Butuni jelas merupakan gambaran pribadi-pribadi yang senantiasa berserah diri kepada yang Mahasuci. Dengan demikian, mereka pun telah melewati tahapan-tahapan perjalanan batiniah yang panjang. Dengan pribadi yang senantiasa berserah diri, maka jelas mereka pun senantian bersabar, bersyukur, bertawakal, dan berzuhud. Serta, istiqomah menjaga bangunan hatinya. Maka sangatlah wajar, bila produk-produk yang dihasilkan oleh para sultan adalah senantiasa menebarkan kemuliaan bagi warga Pulau Buton. Bahkan, mereka pun benar-benar bertanggungjawab atas apa-apa yang diterima oleh rakyatnya secara lahiriah atau batiniah. Sehingga, Pulau Buton laksana taman surga bagi para penghuninya. Serta, membuat sultan dan rakyatnya terus saja istiqomah berserah diri kepada Yang Maharaja.

Tidak mudah mendapati pemimpin laksana Sultan Butuni. Mereka lahir dan berkembang di taman surga, yang memungkinkan individu-individunya memiliki pribadi-pribadi yang senantiasa bersabar, bersyukur, bertawakal, berzuhud, dan berserah diri. Tapi sebagai insan yang bertekad memuliakan diri ini dan sekeliling kita, maka sudah sepantasnya, perangkat pribadi-pribadi seperti sang Sultan Butuni itu melekat juga di bangunan hati kita. Sehingga, kalaupun kita belum memiliki kesempatan menjadi pemimpin, tapi kita telah bersiap-siap dengan bekal yang memadai. Kita bisa terlihat sebagai pemimpin, meskipun saat itu posisi kita bukan sebagai pemimpin. Itulah pribadi-pribadi yang kharismatik dan berwibawa. Dengan kenyataan itu, paling tidak kita bisa lebih siap berhadapan dengan siapa pun. Tanpa merasa kecil, rendah, atau tidak berguna.

Kesultanan Butuni memberikan banyak pelajaran bagi kita. Pertama, soal pola kepemimpinan dalam kesultanan yang memiliki tradisi Islam begitu kokoh. Dan kedua, tentu saja, menyangkut sosok pemimpin negeri yang amanah. Berabad-abad yang lalu, kalangan gusti di Kesultanan Butuni telah membenamkan diri dalam zona kesuciaan dengan penuh keikhlasan dan keridhaan. Sebenarnya, saat itu mereka tengah menikmati banyak kemuliaan laksana Nabi Allah Sulaiman as. Namun, ketika pesan kebangkitan atau pencerahan diri tiba, mereka pun menyambutnya dengan gegap-gempita.

Mereka bukan hanya menikmati kenyamanan Islam sebagai kendaraan untuk menapaki jalan lurus. Tapi, mereka justru makin melarutkan diri dengan kedalaman ajaran Islam itu sendiri, untuk menjangkau surga yang sebenar-benarnya. Surga di dunia dan akhirat. Amati kembali bagaimana pribadi-pribadi yang diperlihatkan oleh para Sultan Butuni. Perhatikan juga bagaimana ia dilahirkan dan ditempa oleh sekelilingnya. Para Sultan Butuni adalah produk masyarakat adat yang terkondisikan untuk senantiasa bersyukur, bertawakal, berzuhud, dan berserah diri, kepada Yang Maharaja. Sehingga, sangatlah wajar istiqomah batiniah secara massal itu membentuk pribadi-pribadi nan mempersona. Yakni, para pemimpin yang bersiaga mengemban amanah, mencurahkan kemuliaan, dan menghindangkan surga bagi rakyatnya.

Kisah para Sultan Butuni tidak ubahnya kisah bunga hias nan indah, tapi membenamkan diri di antara rerumputan liar. Padahal, ia berada di vas bunga besar dan indah dan diletakkan di rumah kaca. Tapi, ia ikhlas menghantarkan kemuliaan derajatnya untuk menyatu dengan tanaman lain. Bahkan, rerumputan. Dan, dengan tangan mulianya itulah, ia tebarkan kemuliaan bagi tanaman lain. Sehingga mereka pun sama-sama berada di taman luas nan indah.

Para Sultan Butuni merupakan bunga inspirasi pemimpin negeri yang senantiasa berserah diri kepada Yang Maharaja. Karena, ia mengemban amanah itu kemuliaan dirinya dan juga rakyatnya. Serta menjadikan Kesultanan Butuni sebagai surga bagi warga Pulau Pulau Buton. Dan, yakinilah bahwa pada hakekatnya setiap dari kita pun mengemban amanah laksana Sultan Butuni. Namun, adakah kesabaran untuk menantikan masa itu, serta kesiapan untuk menebarkan kemuliaan untuk sekeliling kita? Masa itu pastinya akan datang. Entah di ruang yang mana.

http://blog.liputan6.com/2009/05/06/sultan-butuni-pemimpin-orang-buton/

Dunia dan Akhirat